Bab
II
Pembahasan
A. Pengertian Budi Pekerti
Pengertian
budi pekerti dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, antara lain secara
etimologi (asal usul kata), leksikal (kamus), konsepsional (teori) dan
operasional (praktis).
Secara etimologi budi pekerti terdiri dari dua unsur
kata, yaitu budi dan pekerti. Budi dalam bahasa ( sangsekerta ) berarti
kesadaran, budi, pengertian, pikiran dan kecerdasan. Kata pekerti berarti
aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku. Dengan demikian budi
pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berprilaku.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi
pekerti diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi
pekerti dalam bahasa Arab disebut dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal
dengan istilah etika dan dalam bahasa Inggris disebtu ethics.
B.
Visi dan Misi pendidikan Budi Pekerti
Budi pekerti merupakan bagian dari kehidupan manusia. Manusia merupakan
makhluk Tuhan yang memiliki akal pikiran. Di samping itu manusia juga memiliki
hati yang mengandung perasaan dan nurani. Secara umum orang memandang bahwa
budi pekerti yang baik adalah perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari
sesuai dengan norma-norma, aturan-aturan, hukum-hukum yang berlaku di
masyarakat. Di samping itu, seseorang yang berbudi pekerti yang baik adalah
mereka yang taat dalam menjalankan dan mengamalkan ajaran agama. Keluhuran budi
pekerti seseorang tercermin dalam perilakunya. Oleh karena itu, pendidikan budi
pekerti sangat diperlukan karena budi pekerti yang baik diharapkan dalam segala
aspek kehidupan masyarakat.
1. Visi
Pendidikan Budi Pekerti
Mewujudkan
pendidikan budi pekerti sebagai bentuk pendidikan nilai, norma, etika yang
berfungsi menumbuhkembangkan individu warga negara Indonesia yang berakhlak
mulia dalam pemikiran, sikap, dan perbuatan sehari-hari.
2. Misi Pendidikan Budi
Pekerti
1. Mengoptimalkan substansi mata kuliah yang relevan,
khususnya Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, serta
mata kuliah yang relevan sebagai wahana pendidikan budi pekerti sehingga para
mahasiswa tidak hanya cerdas secara rasional, tetapi juga cerdas secara
spiritual, emosional dan sosial.
2. Mewujudkan tatanan
dan iklim sosial budaya dunia pendidikan yang dikembangkan sebagai lingkungan pendidikan
yang memancarkan akhlak mulia atau moral luhur sebagai wahana bagi mahasiswa,
tenaga kependidikan dan pengelola pendidikan untuk membangun interaksi edukatif
dan budaya kampus yang memancarkan akhlak mulia serta membangun ketahanan
kampus, lingkungan keluarga dan masyarakat dari pengaruh luar yang negatif.
3. Memanfaatkan media masa dan lingkungan masyarakat secara selektif dan
adektif guna mendukung keseluruhan upaya menumbuh dan mengembangkan nilai-nilai
budi pekerti luhur, baik yang melalui mata kuliah yang relevan maupun
pengembangan budaya pendidikan di kampus.
4. Membangun kerjasama antara keluarga, kampus dan
masyarakat dalam penerapan pendidikan budi pekerti.
C.
Tujuan
Pendidikan Budi
Pekerti
Dalam rangka mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, pendidikan budi pekerti yang tergabunga dalam mata
pelajaran yang relevan dan tatanan serta iklim kehiduapan sosial cultural
secara umum bertujuan Dengan pendidikan
budi pekerti, mahasiswa memiliki pengetahuan dan mampu mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi, mengembangkan keterampilan sosial
yang memungkinkan tumbuh dan berkembang dalam perilaku sehari-hari dalam
berbagai konteks sosial budaya di lingkungannya. Dan tujuan secara khusus bersifat spesifik, nyata dan
dapat diukur pencapaiannya ,untuk mengetahui kualitas belajar dalam pelajaran.
D.
Sasaran
pendidikan budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti
memiliking, khususnya unsure sasaran
berupa kepribadian seseorang, khususnya unsure karakter atau watak yang
mengandung hati nurani ( conscience )
sebagai kesadaran diri ( consciousness
) untuk berbuat kebajikan ( virtue).
E.
Scope
nilai dan sifat-sifat budi pekerti
1. Scope
nilai budi pekerti
Menurut pendapat cahyoto ( 2002: 18-22),
ruang lingkup atau scope pembahasan
nilai budi pekerti yang bersumberkan pada etika atau filsafat menekankan unsure
utama , yaitu kesadaran dan berperannya
hati nurani dan kebajikan bagi kehidupan yang baik berdasarkan sistem
dan hukum nilai-nilai moral dalam masyarakat.
2. Sifat-sifat
budi pekerti
Sifat
budi pekerti sebagai unsure sifat kepribadian dapat dilihat pada prilaku
seseorang sebagai perwujudannya. Menurut cahyono (2002: 19-20) dari hasil
pengamatan terhadap prilakuyang berbudi pekerti luhur, dapat dikemukakan adanya
sifat-sifat budi pekerti, yaitu sebagai berikut:
1. Budi
pekerti seseorang cenderung untuk mengutamakan kebajikan sesuai dengan hati
nuraninya.
2. Budi
pekerti akan mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya usia.
3. Budi
pekerti yang terbentuk cenderung mewujudkan bersatunya pikiran dan ucapan dalam
kehidupan sehari-hari dalam arti terdapat kesejajaran antara pikiran, ucapan, dan prilaku.
4. Budi
pekerti akan menampilkan diri berdasarkan dorongan atau motivasi dan kehendak
untuk berbuat sesuatu yang berguana dengan tujuan memenuhi kepentingan
dirisendiri dan orang lain berdasarkan
pertimbangan moral.
5. Budi
pekerti tidak dapat langsung diajarkan kepada seseorang atau siswa karena
kedudukannya sebagai sebagai dampak
pengiring,bagi mata pelajaran lainnya.
6. Pembelajaran
budipekerti disekolah lebih merupakan
latihan bagi siswa untuk meningkatkan kualitas budipekertinya sehingga siswa
terbiasa dan mampu menghadapi masalah moral dimasyarakat pada saat ia dewasa
nanti.
Dalam kenyataannya dalam
kehidupan sehari-hari, sifat-sifat yang berbudi pekerti memerlukan perhatian terhadap prilaku seseorang dalam waktu yang
lama dan berkelanjutan, karena sifat-sifat budi pekerti tidak dapat ditebak
dalam waktu yang singkat.
F.
Pendekatanan
Startegi Pendidikan Budi Pekerti
1. Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti
Penerapan
pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan sekolah saat ini menggunakan
dua pendekatan utama.yaitu :
a.)
Penyisipan (plug-in)
b.)
Perbaikan (improvement) dengan cara mengoptimalkan isi, proses, dan
pengelolaan pendidikan saat ini guna mencapai tujuan pendidikan nasional.
Menurut
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mata
pelajaran Budi Pekerti untuk SD, SMP, dan SMA (Puskur, 2001:7-8), dalam rangka
meningkatkan keberhasilan peserta didik untuk membentuk mental, moral,
spiritual, personal dan sosial, maka penerapan pendidikan budi pekerti dapat
digunakan berbagai pendekatan dengan memilih pendekatan yang terbaik (efektif)
dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan hasil yang optimal
(sinergis).
Pendekatan yang dimaksud antara lain:
a) Pendekatan penanaman nilai (Iculcation Approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation
approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman
nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan
pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang
ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif
(pemberian ajaran secara mendalam tanpa kritik mengenai suatu paham atau
doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja), tidak
sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976).
Pendekatan
ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
Menurut Raths et al.
(1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak
dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang.
Pada
dasarnya, pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima
nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya
melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian,
menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Cara yang digunakan antara lain
keteladanan, penguatan, simulasi, dan bermain peran.
b) Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral
Development Approach)
Pendekatan ini mendorong siswa untuk
berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat
keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat
sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari
suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias,
1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama.
Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks
berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk
mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu
masalah moral (Superka, et. al.1976; Banks, 1985). Pendekatan perkembangan kognitif
pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan
dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al.
1980).
Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai
berikut.
(1)
Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap
ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau
sosial.
(2)
Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima
nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
(3)
Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau
bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri,
tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak
melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan
terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa
mereka patuh kepada peraturan,
Piaget sampai pada
suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak
mempengaruhi pertimbangan moral mereka. Kohlberg (1977) juga mengembangkan
teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan
kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989),
Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci.
Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi
yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas
tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai
kemanusian universal.
Jadi, pada dasarnya, pendekatan ini menekankan
pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Cara yang dapat digunakan dalam
penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain melakukan diskusi
kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual maupun yang abstrak.
c) Pendekatan Analisis Nilai (Value Analysis Approach)
Pendekatan analisis nilai (values
analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk
berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan
nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu dan dapat
menghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri.
Jika
dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan
penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada
pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan
perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat
perseorangan. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu
diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et.
al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait yang
artinya mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait,
b. Mengumpulkan fakta yang berhubungan yang artinya
mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan
c. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan yang artinya
mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan
d. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan yang
artinya mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan
e. Merumuskan keputusan moral sementara yang artinya
mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara,
f. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan
keputusan yang artinya mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang
diterima.
Cara yang dapat digunakan antara lain diskusi
terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis
terhadap kasus, debat, dan penelitian.
d) Pendekatan Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach)
Pendekatan
klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha
membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk
meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan
ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang.
Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh
seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri,
tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya.
Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting.
Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan
keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan
kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi
nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, bertujuan
membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka
tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik
dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai
perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang digunakan antara
lain bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri,
aktivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi
kelompok.
e) Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning
Approach)
Pendekatan
pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral,
baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976),
pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan
perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam
melakukan perubahan-perubahan sosial. Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai,
dan mengembangkan kemampuan dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong
peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Cara yang
digunakan selain cara-cara pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, adalah
metode proyek/kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup
bermasyarakat dan berorganisasi.
G.
Strategi Dasar Pendidikan Budi Pekerti dalam Hubungannya
dengan Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti
Agar pendekatan yang digunakan dalam
pendidikan Budi Pekerti mampu mewujudkan tujuan dari pendidikan Budi Pekerti
itu sendiri, maka perlu ditekankan strategi yang akan digunakan sebagai acuan.
Sesuai dengan visi pendidikan budi
pekerti, pelaksanaan pendidikan budi pekerti yang selama ini banyak dimaknai
secara tradisional dan lokal telah direkonseptualisasi dan direposisi menjadi
“pendidikan budi pekerti” yang diyakini akan memberi kontribusi yang bermakna
dalam upaya pembentukan “Manusia Seutuhnya”.
Pola
pikir akademis dan pedagogis tersebut, diyakini sangatlah tepat karena memang
secara substantif dan praksis budi pekerti tidak bisa dilepaskan dari tujuan,
instrumentasi, dan praksis kurikuler dan pedagogis mata pelajaran keagamaan,
sosial, dan humaniora. Semua mata pelajaran tersebut secara esensial mengandung
pengembangan kognisi, afeksi, dan keterampilan sosial yang diyakini sangat
potensial dalam mengembangkan individu.
Atas dasar pertimbangan hal-hal di
atas, maka dalam penyelenggaraan pendidikan budi pekerti ditetapkan strategi
dasar sebagai berikut.
1. Pendidikan budi pekerti sebagai substansi dan praksis
pendidikan di lingkungan persekolahan, terintegrasi dalam sejumlah mata
pelajaran yang relevan dan iklim sosial budaya sekolah.
2. Pengorganisasian pendidikan budi pekerti dalam kurikulum
dunia persekolahan dapat dilakukan melalui beberapa alternatif, antara lain:
a. Mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai dengan sekolah
menengah atas (SMA) pendidikan budi pekerti diintegrasikan ke dalam mata
pelajaran yang relevan; atau
b. Di TK diintegrasikan ke dalam bidang yang relevan, di SD
diintegrasikan ke dalam pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, serta
pendidikan bahasa Indonesia/daerah.
c. Di SMP dan SMA diintegrasikan ke dalam pendidikan agama
dan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan IPS serta pendidikan bahasa
Indonesia/daerah, dan mata pelajaran yang relevan.
3. Keterlibatan seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan,
khususnya guru, kepala sekolah, administrator pendidikan, pengembang kurikulum,
penulis buku teks dan lembaga pendidikan tenaga keguruan sesuai dengan
kedudukan, peran, dan tanggung jawabnya.
Secara kurikuler dan pedagogis nilai-nilai esensial dan operasional budi
pekerti yang menjadi isi pendidikan budi pekerti, selanjutnya dikembangkan dan
diterapkan secara adaptif dalam pengembangan perangkat pembelajaran dan
perwujudan praktis pendidikan budi pekerti. Dengan demikian, pengembangan
butir-butir nilai budi pekerti luhur oleh dan dalam masing-masing mata
pelajaran yang relevan tidak terjadi over lapping atau timpang tindih tidak
perlu dan potensial menimbulkan kebosanan dikalangan peserta didik dan guru.
Wahana dalam konteks ini dimaknai sebagai isi dan proses mata pelajaran
yang relevan, yang dirancang untuk mengintegrasikan pendidikan budi pekerti.
Sebagai contoh antar lain ahlak dalam pendidikan agama; demokrasi dan HAM dalam
PPKn. Pemilihan mata pelajaran pendidikan agama dan PPKn sebagai wahana untuk
pendidikan budi pekerti, dinilai sangat tepat karena secara konstitusional
negara Indonesia merupakan sila-sila Pancasila sebagai pondasi dan sekaligus
muara dari keseluruhan upaya pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Secara
instrumental kurikuler, karena pendidikan budi pekerti termasuk kedalam
pendidikan nilai, maka berlaku paradigma pedagogis bahwa nilai tidak semata
mata diajarkan atau ditangkap sendiri, tetapi lebih jauh dari itu nilai
dipelajari dan diamati. Oleh karena itu, pendekatan pendidikannya harus berubah
dari pendekatan didaktis (didassien/didasei = saya mengajar) menjadi pendekatan
belajar, yang lebih menekankan kedudukan dan peran peserta didik sebagai subjek
ajar dan bukan sebaliknya sebagai objek ajar.
H.
Metode dan model pembelajaran
pendidikan budi
pekerti
( Menurut Paul Suparno, dkk. ( 2002: 45-52 )
a. Metode penyampaian
1. Metode Demokratis, metode ini menekankan pencarian secara
bebas dan penghayatan nilai-nilai hidup dan langsung melibatkan anak untuk
menemukan nilai-nilai tersebut dalam berdampingan dan pengarahan guru. Anak
diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan pendapat dan penilaian terhadap
nilai-nilai yang ditemukan.
2. Metode pencarian
bersama, metode ini menekankan pencarian bersama yang melibatkan siswa dan
guru, pencarian bersama ini lebih berorientasi pada diskusi atas soal-soal yang
actual dalam masyarkat, dimana proses diharapkan menumbuhkan sikap bepikir
logis, analitis sistematis, argunentatf nuntuk mengambill nilai-nilai hidup
dimasalah yang diolah bersama.
3. Metode siswa
aktif, menekankan pada proses yang melibatkan anak sejak awal pembelajaran,
guru memberikan pokok pembahasan dan anak dalamkelompok mencari dan
mengembangkan proses selanjutnya. Anak membuat pengamatan , pembahasan analisis
sampai pada proses penyimpulan atas kegiatan mereka.
4. Metode kteladanan, Proses bpembentukan keperibadian pada
anak akan dimulai dengan melihat orang yang akan diteladaninya, dalam hal ini
guru harus mampu menjadi idola bagi peserta didik.
5. Metode live in, bertujuan agar anak mempunyai penglaman
hidup bersama orang lain langsung dalam situasi yang sangat berbeda dari kehidupan
sehari-harinya.
6. Metode penjernihan nilai, Latar belakang social
kehidupan, pendidikan dan pengalaman dapat membawa perbedaan dan penerapan
nilai-nilai hidup. Adanya berbagai pandangan hidup dalam masyarakat membuat
bingung seorang anak, apbila kebingungan itu tidak dapat terungkap dengan baik
ia akan menggalami pembelokan hidup. Oleh karena itu membutuhkan penjernihan
nilai dengan dialog afektif dalam bentuk sharing atau diskusi yang mendalam dan
intensif.
I.
Model penyampaian
Keberhasilan untuk menawarkan dan dan menanamkan nilai-nilai hidup melalui
pendidikan budi pekerti di pengaruhi oleh cara penyampaiannya.
a. Model sebagi mata pelajaran tersendiri. Pendidikan budi
pekerti sebagai mata pelajaran tersendiri seperti bidang studi lain dalam hal
ini guru pendidikan budi pekerti harus membuat Garis besar pedoman pengajaran
(GBPP), Satuan Pelajaran (SP), Rencana Pengajaran (RP), Metedologi pengajaran,
dan evaluasi pengajaran. Selain itu juga ia harus dimasukkan dalam jadwal yang
terstruktur
b. Model terintegrasi
dalam semua bidang studi. Penanaman nilai budi pekerti juga dapat di sampaikan
secara terintegrasi dalam semua bidang studi. Guru dapat memilih nilai-nilai
yang di tanamkan melalui beberapa pokok bahasan yang berkaitan dengan
nilai-nilai hidup.
c. Model diluar pengajaran. Penanaman nilai dengan model ini
lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk
di bahas dan di kupas nilai-nilai hidupnya.
d. Model gabungan.
Model gabungan berarti menggunakan gabungan antara model terintegrasi dan model
diluar pengajaran, penanaman niai dilakukan melalui pengakuan fomal
terintegrasi bersamaan dengan kegiatan diluar pengajaran.
e.
J.
Penilaian
Pendidikan Budi Pekerti
Ada dua cara penilaian pendidikan budi
pekerti, yaitu :
a. Penilaian
kualitatif
Penyampaian hasil dengan menggunakan angka
dan berpegang pada rentang angka 1-10, cara yang sering digunakan untuk
kegiatan penilain dan penyajian raport adalah secara kualitatif. Secara
kualitatif dengan bilangan bulat.
Ada keterbatasan pada penilaian seperti ini
karena hasilnya langsung menyentuh kecerdasan moral anak sehingga tidak akan
membangun kesadaran moral berkembang dari kemauan anak, namun makin menyuburkan
suasana ketidakjujuran sistem penilaian yang dilakukan .
b. Penilaian
kualitatif
Penyampaian atau penyajian hasil penilaian
dengan menggunakan nbentuk pernyataan verbal, misalnya, baik sekali, baik,
kurang, atau kurang sekali
Penilaian seperti ini umumnya bersifat
deskriptif tentang aspek prilaku siswa. Rumusannya akan mengungkapkan hal yang positif dari aspek
prilaku, kemudian menunjukkna sisi positif dan negative secara berimbang dan
memungkinkan siswa memiliki gambaran diri secara utuh.
BAB III
PENUTUP
K. Kesimpulan
Pendidikan budi pekerti merupakan
pendidikan nilai yang membutuhkan keterampilan khusus untuk proses
penanamannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kompetensi pendidik yang baik dan
dapat memilih metode,model pengajajaran yang komunikatif, inovatif, dan
menarik.
Penilaian budi pekerti merupakan usaha
untuk mengikuti perkembangan siswa secara utuh dan berkelanjutan, penilaian
juga merupakan factor pendorong suksesnya pengajaran pendidikan budi pekerti
yang diajarkan.
L. Pesan
dan saran
Dengan
membaca makalah ini penulis berharap semoga kita dapat berfikir tepat dan benar
sehingga terhindar dari kesimpulan yang salah dan kabur. Setidaknya dengan
makalah ini, ada semacam pencerahan intelektual dan menyuguhkan motivasi yang
intrinsik untuk segera mempelajari PLATFORM PENDIDIKAN BUDI PEKERTI sehingga
kita dapat meminimalisasi kesalahan dalam berfikir.
Tentunya,
dalam makalah ini akan ditemukan kelemahan-kelemahan atau bahkan kekeliruan.
Dengan itu, penulis sangat berharap adanya masukan dari pembaca dan kritik
konstruktif sebagai upaya pembangunan mental guna perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
:
Zuriah ,nurul .2011. “Pendidikan moral dan budi pekerti
dalam perspektif perubahan.jakarta
:Bumi
aksara .2011
didik-alkamal.blogspot.com/.../penanaman-budi-pekerti-ter...
hasansaddam23.blogspot.com/2012/.../pendidikan-afeksi.ht...